Diagnosa Kebuntingan

Metode Deteksi Kebuntingan. Deteksi kebuntingan dengan urine dan asam sulfat (H2SO4)

Dalam kinerja reproduksi deteksi kebuntingan merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi setelah sapi dikawinkan atau di IB (diinseminasi buatan). Untuk itu diperlukan suatu metode deteksi kebuntingan yang hendaknya mudah, murah, cepat dan tepat sehingga dapat mengefisienkan penanganan terhadap ternak betina yang bunting tersebut. Pemeriksaan sendiri mungkin sangat diperlukan. Saat ini deteksi kebuntingan umumnya dilakukan dengan palpasi per rektal, dan kemungkinan yang tepat dapat terjadi 2–3 bulan setelah diinseminasi dan semakin tepat dengan bertambahnya umur kebuntingan. Beberapa metode diagnosis telah di aplikasikan di lapangan.

Metode diagnosis yang populer pada sapi adalah palpasi rektal. Aplikasi metode ini sulit diterapkan karena butuh keahlian dan pengalaman yang cukup serta risiko yang ditimbulkan jika dilakukan dengan penanganan yang kurang baik. Pada level lapangan, jumlah tenaga untuk aplikasi metode ini sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu dicari suatu solusi alternatif sehingga ditemukan suatu metode yang ideal yang dapat diaplikasikan pada sapi masyarakat. Dasar teoritis pemeriksaan urine ini adalah terdapatnya hormon estrogen pada sapi bunting yang disekresikan melalui urin. Hormon estrogen tersebut berasal dari plasenta. Ketika dicampur dengan asam sulfat, maka estrogen tersebut akan dibakar sehingga terbnetuk fluoresensi warna. Aplikasi metode ini sangat sederhana dan memenuhi syarat syarat ideal untuk diagnosis kebuntingan sehingga sangat tepat untuk diaplikasikan pada level peternak.

Metode deteksi kebuntingan yang sering diterapkan didunia peternakan meliputi :

  • Eksplarasi Rektal
    Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi.Prosedurnya adalah palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan, fetus atau membran fetus.Teknik yang dapat digunakan pada tahap awal kebuntingan ini adalah akurat, dan hasilnya dapat langsung diketahui.

    Sempitnya rongga pelvic pada kambing, domba dan babi maka eksplorasi rektal untuk mengetahui isi uterus tidak dapat dilakukan (Arthur, et al., 1996).Palpasi transrectal pada uterus telah sejak lama dilakukan.Teknik yang dikenal cukup akurat dan cepat ini juga relative murah.Namun demikian dibutuhkan pengalaman dan training bagi petugas yang melakukannya, sehingga dapat tepat dalam mendiagnosa. Teknik ini baru dapat dilakukan pada usia kebuntingan di atas 30 hari (Broaddus dan de Vries, 2005).

    Pemeriksaan kebuntingan ternak khususnya sapi umumnya dilakukan dengan explorasi rectal atau palpasi rektum.Dalam melakukan palpasi rektum, tidak semua orang bisa melakukannya, hanya orang-orang tertentu saja yang ahli dalam bidang tersebut. Namun ketersediaan orang–orang tersebut tidaklah merata di seluruh daerah khususnya daerah Sumatera Barat. Sedangkan beternak sapi lebih banyak dilakukan oleh rakyat yang ada di pedesaan (Rahmayuni, 2001).

  • Ultrasonografi
    Ultrasonography merupakan alat yang cukup modern, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kebuntingan pada ternak secara dini. Alat ini menggunakan probe untuk mendeteksi adanya perubahan di dalam rongga abdomen. Alat ini dapat mendeteksi adanya perubahan bentuk dan ukuran dari cornua uteri.Harga alat ini masih sangat mahal,diperlukan operator yang terlatih untuk dapat menginterpretasikan gambar yang muncul pada monitor. Ada resiko kehilangan embrio pada saat pemeriksaan akibat traumatik pada saat memasukkan pobe. Pemeriksaan kebuntingan menggunakan alat ultrasonografi ini dapat dilakukan pada usia kebuntingan antara 20 – 22 hari, namun lebih jelas pada usia kebuntingan diatas 30 hari ( Youngquist, 2003 dalam Lestari, 2006).

  • Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon
    Pengukuran hormon-hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat dilakukan dengan metoda RIA dan ELISA. Metoda-metoda yang menggunakan plasma dan air susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih dini dibandingkan dengan metoda rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000).

    Menurut Djojosoebagjo (1987) dalam Illawati (2009), metode RIA mempunyai kemampuan untuk menentukan zat-zat fisiologis sampai konsentrasi yang sangat rendah sekali mencapai konsentrasi pictogram (1 pg = 10-12 gram) untuk setiap satuan ml. Dengan metode ini hampir semua hormon dapat diukur kadarnya. Akan tertapi secara komersil, metoda RIA terlalu mahal untuk digunakan sebagai metoda diagnosis kebuntingan (Partodihardjo, 1992).

  • Metoda punyakoti
    Metoda punyakoti adalah sebuah metoda pemeriksaan kebuntingan ternak sapi menggunakan urine yang pernah dilakukan di sebuah veterinary college di Bangalore India. Teknik ini ternyata meniru dokter di Mesir sekitar 4000 tahun lalu, di mana disebutkan bahwa seorang perempuan yang akan didiagnosis kehamilannya diminta untuk kencing di kantong kain yang berisi biji gandum. Perempuan tersebut didiagnosis hamil apabila biji gandum dalam kantung yang dikencingi tumbuh dalam waktu 5 hari dan tidak hamil bila biji gandumnya tidak tumbuh (Istiana, 2010).

    Namun untuk ternak sapi hasilnya kebalikan dari manusia, jika biji gandum tumbuh dalam 5 hari maka ternak tersebut dinyatakan tidak bunting dan sebaliknya.Uji ini cukup murah, mudah, sederhana, tidak invasif dari sudut pandang kesejahteraan hewan dan tidak memerlukan bahan kimia atau alat yang canggih.Peternak yang ada di daerah terpencil yang akses terhadap dokter hewan begitu terbatas bisa memanfaatkan uji punyakoti untuk mendiagnosis kebuntingan hewan ternaknya.

  • Deteksi kebuntingan dengan urine dan asam sulfat (H2SO4)
    Deteksi kebuntingan dini secara kimiawi merupakan salah satu alternatif deteksi kebuntingan pada sapi. Keunggulan metode ini peternak akan lebih cepat mengetahui apakah ternak yang sudah dikawinkan atau diinseminasi menjadi bunting atau tidak. Dalam kinerja reproduksi deteksi kebuntingan merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi setelah sapi dikawinkan atau di IB (diinseminasi buatan). Untuk itu diperlukan suatu metode deteksi kebuntingan yang hendaknya mudah, murah, cepat dan tepat sehingga dapat mengefisienkan penanganan terhadap ternak betina yang bunting tersebut.Pemeriksaan sendiri mungkin sangat diperlukan.Saat ini deteksi kebuntingan umumnya dilakukan dengan palpasi per rektal, dan kemungkinan yang tepat dapat terjadi 2–3 bulan setelah diinseminasi dan semakin tepat dengan bertambahnya umur kebuntingan.

    Beberapa metode diagnosis telah di aplikasikan di lapangan. Metode diagnosis yang populer pada sapi adalah palpasi rektal. Aplikasi metode ini sulit diterapkan karena butuh keahlian dan pengalaman yang cukup serta risiko yang ditimbulkan jika dilakukan dengan penanganan yang kurang baik. Pada level lapangan, jumlah tenaga untuk aplikasi metode ini sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu dicari suatu solusi alternatif sehingga ditemukan suatu metode yang ideal yang dapat diaplikasikan pada sapi masyarakat.

    Dasar teoritis pemeriksaan urine ini adalah terdapatnya hormon estrogen pada sapi bunting yang disekresikanmelalui urin. Hormon estrogen tersebut berasal dari plasenta. Ketika dicampur dengan asam sulfat, maka estrogen tersebut akan dibakar sehingga terbnetuk fluoresensi warna. Aplikasi metode ini sangat sederhana dan memenuhi syaratsyarat ideal untuk diagnosis kebuntingan sehingga sangat tepat untuk diaplikasikan pada level peternak.

    Estrone sulphate adalah derifat terbesar estrogen yang diproduksi oleh konseptus dan dapat diukur dalam plasma maternal, susu atau urine pada semua species ternak. Estrone sulphate dapat dideteksi dalam plasma lebih awal pada babi ( hari ke 20) dan kuda (hari ke 40), dibandingkan pada domba dan kambing (hari ke 40 sampai 50) atau sapi (hari ke 72). Kedua level hormon baik estrone sulphate maupun eCG dapat digunakan untuk mendiagnosa kebuntingan pada kuda setelah hari ke 40 kebuntingan. Karena fetus yang berkembang mengeluarkan sejumlah besar estrone sulphate ke dalam sirkulasi maternal antara hari ke 75-100 kebuntingan, maka estronesulphate lebih dapat dimanfaatkan dari pada eCG untuk mengetahui adanya kehadiran fetus (Damayanti, 2006).

    Menurut Rosalin (2002), Pengambilan sampel urine pada sapi yang telah di IB sebulan dan setelah dua bulan di IB tidak berbeda nyata dengan angka kebuntingan. Akan tetapi waktu yang cepat dan tepat perlu dicari untuk memperoleh hasil deteksi yang cepat dan tepat. Menurut Partodihardjo (1992), asam sulfat yang dapat digunakan untuk deteksi kebuntingan. Ditambah Satriyo (2001), metode deteksi ini telah diterapkan untuk mendeteksi kebuntingan ternak sapi, di dalam urine sapi yang sedang bunting mengandung hormon estrogen yang dihasilkan oleh plasenta.

    Prinsip dari metode ini menurut Partodihardjo (1987), bahwa dengan penambahan larutan 2 ml urine dan 10 ml aquadest kemudian dibakar dengan 15 ml asam sulfat pekat akan menimbulkan gas fluorescence di permukaan cairan. Gas tersebut timbul karena adanya hormon esterogen di dalam urine. Hormon esterogen diproduksi jika seekor ternak telah mengalami perkawinan dan berada pada proses kebuntingan. Ditambah oleh Illawati (2009), penggunaan volume asam sulfat pekat 0.5 ml yang lebih efektif untuk deteksi kebuntingan. Penggunaan asam sulfat pekat 0.5 ml menghasilkan warna yang berubah dari kuning muda menjadi keunguan ini menunjukan kebuntingan yang jelas. Melanjutkan penelitian ini untuk mendapatkan volume asam sulfat pekat (H2SO4) yang lebih efisien dan lebih ekonomis dari segi harga, uji kebuntingan dilakukan dengan memperkecil volume penggunaaan asam sulfat.

    Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel urine sapi yang berasal dari betina yang telah diinseminasi buatan. Sampel urine sapi diambil pada pagi hari. Bahan kimia yang digunakan adalah Asam Sulfat (H2SO4) pekat dan aquadest. Alat yang dipakai adalah tabung reaksi, gelas ukur, gelas kimia, pipet tetes, batang pengaduk, tang jepit, tisu gulung, alat tulis dan stopwatch.

Prosedur kerja dalam melakukan deteksi kebuntingan menggunakan campuran urine dan Asam Sulfat (H2SO4):

  1. Persiapan Peralatan
    Semua peralatan yang diperlukan dibersihkan. Peralatan dibilas dengan air bersih dan aquadest kemudian dikeringkan.
  2. Penampungan Urine
    Pengambilan urine dilakukan pada pagi hari (06.30-10.00 WIB). Urine langsung ditampung dengan menggunakan alat yang tersedia yaitu gelas ukur.

  3. Membuat Larutan Urine dan Aquadest
    Untuk membuat larutan, urine diambil sebanyak 3 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambah 15 ml aquadest dan larutan dicampur sehomogen mungkin. Kemudian larutan dipindahkan ke dalam 15 tabung reaksi yang lain sebanyak 1 ml pertabung reaksi.

  4. Pembakaran / Penambahan Larutan dengan Asam Sulfat pekat (H2SO4)
    Dimana reaksi ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas fluorencscence dari dasar tabung dan terjadinya perubahan warna larutan dari kuning muda menjadi biru keungguan apabila sapi bunting. Menurut Sayuti dkk (2011), hasil positif (+) akan memperlihatkan adanya zat fluoresen warna hijau di permukaan cairan sedang hasil negative (-) tidak memperlihatkan zat warna fluoresen.

Menurut Wahyu (2012), Penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis 0.1 ml dapat digunakan dalam diagnosis kebuntingan dini pada sapi tetapi dengan waktu yang lebih lama (25-40 detik). Pemeriksaan kebuntingan dini pada sapi dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat telah dapat dilakukan pada hari ke-22 setelah diinseminasi.

Metode diagnosis kebuntingan dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dapat dilakukan sendiri oleh peternak karena lebih praktis, cepat dan tidak membutuhkan keahlian khusus sehingga dapat diterapkan pada peternakan rakyat. Menurut Hunter (1995) metode diagnosis kebuntingan yang ideal adalah tidak mahal, mudah dilakukan, sederhana dan cepat, dan dapat segera memberikan hasil agar sapi dapat dikawinkan kembali pada waktu yang optimum dengan tepat.

Jika terjadi kegagalan kebuntingan ini dapat disebabkan oleh kematian embrio dini sebagaimana pendapat Hardjoprajonto (1995) bahwa kematiam embrio dini pada sapi dapat mencapai 20-30%, persentase terbesar dapat terjadi pada 6-42 hari setelah diinseminasi. Kematian embrio dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya embrio sampai umur 42 hari, kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak serasi atau kekurangan pakan. Kematian embrio dini yang terjadi tidak memberikan gejala-gejala klinis yang jelas pada induknya, karena embrio akan diserap oleh dinding uterus.

Frandson (1992) memperkirakan kegagalan reproduktif dari ternak, dari kegagalan pembuahan dan kematian embrional sekitar 50% dari produksi potensial hewan betina yang dikawinkan.

Partodihardjo (1992) menyatakan adanya ternak sapi yang minta kawin kembali disebabkan oleh kurangnya pengetahuan peternak dalam mendeteksi berahi sehingga inseminasi dilakukan tidak tepat pada waktunya, kesalahan dalam pelaksanaan IB yang tidak sesuai dengan prosedur serta rendahnya kesuburan hewan betina yang diinseminasi.

Lama kebuntingan dari seekor ternak ditentukan oleh faktor genetik walaupun dapat dimodifikasi oleh faktor-faktor maternal, foetal, dan lingkungannya. Sapi-sapi dara pada umur relatif muda akan mempunyai masa kebuntingan yang lebih pendek dari pada sapi yang lebih tua (Toelihere, 1981).  Dari pemaparan diatas mengenai berbagai macam metode deteksi kebuntingan, yang cocok diterapkan diwilayah pedesaan adalah metode deteksi kebuntingan menggunakan campuran urine dan asam sulfat (H2SO4) yang memiliki kelebihan yaitu murah, cepat dan hasilnya akurat.

Kelebihan dan Kekurangan Metode Deteksi Kebuntingan dengan Campuran Urine dan Asam Sulfat (H2SO4)

Di samping itu deteksi kebuntingan dini secara kimiawi merupakan salah satu alternatif deteksi kebuntingan pada sapi. Keunggulan metode ini peternak akan lebih cepat mengetahui apakah ternak yang sudah dikawinkan atau diinseminasi menjadi bunting atau tidak. Menurut Rosalin (2002), Pengambilan sampel urine pada sapi yang telah di IB sebulan dan setelah dua bulan di IB tidak berbeda nyata dengan angka kebuntingan. Akan  tetapi waktu yang cepat dan tepat perlu dicari untuk memperoleh hasil deteksi yang cepat dan tepat. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari Wahyu (2012), bahwa penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis 0.1 ml dapat digunakan dalam diagnosis kebuntingan dini pada sapi tetapi dengan waktu yang lebih lama (25-40 detik). Pemeriksaan kebuntingan dini pada sapi dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat telah dapat dilakukan pada hari ke-22 setelah diinseminasi.

Jadi dapat dikatakan bahwa dengan penggunaan metode ini deteksi kebuntingan akan cepat karena dalam waktu 22 hari setelah dilakukan IB dapat dilakukan uji ini, sedangkan deteksi kebuntingan yang umum dilakukan sekarang adalah dengan palpasi  per rektal yang dapat dilakukan 2-3 bulan setelah diinseminasi. Keuntungan lain adalah terjagkau untuk kalangan peternak karena tidak membutuhkan bahan yang banyak dan biaya yang mahal. Serta tidak membutuhkan keahlian khusus seperti palpasi rektal karena dapat diterapkan pada peternakan rakyat dimana peternaka dapat melakukan sendiri. Dan telah teruji secara tepat serta akurat, bahwa menurut Hunter (1995), metode diagnosis kebuntingan yang ideal adalah tidak mahal, mudah dilakukan, sederhana dan cepat, dan dapat segera memberikan hasil agar sapi dapat dikawinkan kembali pada waktu yang optimum dengan tepat.

Kasus lain yang ditemukan adalah adanya sapi yang sudah diduga bunting dengan Non-Return Rate (NR) tetapi ternyata tidak bunting ketika didiagnosis menggunakan Asam Sufat (H2SO4) pekat dan uji palpasi per rektal, ini membuktikan bahwa pendugaan dengan NR tidak selalu akurat. Kelemahan metode ini adalah memerlukan pengamatan yang lama dan intensif, adanya kasus silent heat (berahi tenang), serta adanya korpus luteum persistent atau korpus luteum yang tidak beregresi secara normal (Toelihere, 1981).

Menarik lainnya

© 2023 Pengertian.Apa-itu.NET