Dampak Mobilitas Sosial

  • Dampak Mobilitas Vertikal

Menurut David Papence (1983), mobilitas vertical menurun dapat menyebabkan stres dan gangguan mental yang serius.Hasil penelitian warren breed mencatat bahwa tingkat bunuh diri yang dilalukan oleh orang yang mengalami mobilitas vertikal turun dibandingkan mereka yang mengalami mobilitas vertikal naik. Mobilitas vertikal naik menyebabkan stres dan gangguan mental, serta efek-efek yang tidak diinginkan lainnya. Menurut Kessin (1971), orang yang sangat “mobil”, yaitu mereka yang mengalami mobilitas vertikal naik melewati dua level strata/ lebih,menunjukan tingkat kecemasan lebih tinggi daripada mereka yang meningkat secara perlahan.

Peter blau (1967) menyimpulkan bahwa orang-orang yang mengalami mobilitas vertikal naik/ turun menghadapi masalah dalam berelasi dengan orang lain masyarakat tertutup ternyata mempunyai masalah sosial yang lebih berat. Status sosial dalam masyakarat sosial tertutup biasanya diperoleh dari keturunan. Ayah dan ibu dengan bakat yang luar biasa mungkin memiliki keturunan dengan bakat yang biasa-biasa saja/ tidak memiliki bakat sama sekali, sebagai contoh raja dengan kemampuan yang luar biasa bisa membawa kerajaan ke masa kejayaan, tetapi keturunannya yang menggantikan posisinya belum tentu memliki kemampuan yang sama, akibatnya kerajaan itu mengalami kemunduran lalu hilang digantikan oleh kerajaan lain.

Karena itu, pada masyarakat maju selalu terbuka jalan untuk pengambilalihan posisi penting dari mereka yang lahir dalam kelas sosial atas, namun tanpa kemampuan memadai, lalu diambil alih oleh individu-individu yang cakap dari kelas sosial yang lebih rendah. Masyarakat tertutup tidak memiliki kesempatan seperti ini, mereka lebih cenderung sewenang-wenang memperlakukan sumber daya manusia.

  • Dampak mobilitas geografis

Mobilitas penduduk/ geografis membawa dampak bagi daerah baru tempat penduduk tersebut bermukim dan bagi daerah asalnya. Urbanisasi besar-besaran, terutama ke kota-kota besar, dapat menimbulkan beragam masalah sosial. Tingkat urbanisasi yang tinggi membawa masalah kependudukan, baik bagi daerah asal/ daerah tujuan.

Di kota-kota yang menjadi tujuan urbanisasi terjadi ledakan jumlah penduduk, yang dapat menimbulkan masalah kemiskinan, permukiman kumuh, kesehatan, keamanan, tata kota yang semrawut, kebersihan, dan lain-lain. Sementara itu, daerah asal bisa saja kekurangan sumber daya manusia untuk mengelola sumber daya alamnya. Proses transmigrasi dalam banyak hal memang telah berjasil mengatasi masalah konsentrasi kepadatan penduduk, masalah pengangguran, dan perbaikan kesejaheraan, namun di beberapa tempat timbul masalah yang berkaitan dengan hubungan antara pendatang dan penduduk setempat yang akan menimbulkan konflik antara penduduk pendatang dan penduduk setempat.

Orang kaya,misalnya. Mereka termasuk lapisan sosial atas, namun tiba-tiba bangkrut dan jatuh miskin, sehingga mereka takut dengan status sosialnya yang baruyaitu sebagai anggota kelas sosial bawah,karena merekaharus beradaptasi dengan gaya hidup kelas sosial bawah. Setelah terbiasa dengan gaya hidup kelas sosial yang baru, orang-orang yang beralih kelas sosial (mengalami mobilitas sosial) mulai merasa aman dan berakhir konflik bantinnya. Bersamaan dengan pembiasaan itu ia mulai membangun pola-pola relasi baru untuk mengakhiri beragam konflik dengan pihak lain akibat mobilitas yang dialami.

Konflik-konflik dengan pihak-pihak lain, baik itu konflik antar indivdu, konflik antar kelompok, konflik antarkelas, maupun konflik antargenerasi bisa mereda bila pihak-pihak yang berkonflik menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang memungkinkannya bekerja sama. Penyesuaian ini dinamakan akomodasi. Akomodasi adalah usaha manusia untuk meredakan suatu pertikian atau konflik dalam rangka mencapai kestabilan. Pihak yang berkonflik saling menyesuaikan diri, sehingga tercipta kerja sama.

Menarik lainnya

© 2023 Pengertian.Apa-itu.NET