5 Butir Isi Perjanjian Hudaibiyah

  1. Pertama, gencatan senjata selama 10 tahun. Tiada permusuhan dan tindakan buruk terhadap masing-masing dari kedua belah pihak selama masa tersebut.
  2. Kedua, siapa yang datang dari kaum musyrik kepada Nabi, tanpa izin keluarganya, harus dikembalikan ke Makkah, tetapi bila ada di antara kaum Muslim yang berbalik dan mendatangi kaum Musyrik, maka ia tidak akan dikembalikan.
  3. Ketiga, diperkenankan siapa saja di antara suku-suku Arab untuk mengikat perjanjian damai dan menggabungkan diri kepada salah satu dari kedua pihak. Ketika itu, suku Khuza’ah menjalin kerja sama dan mengikat perjanjian pertahanan bersama dengan Nabi Muhammad saw. dan Bani Bakar memihak kaum musyrik.
  4. Keempat, tahun ini Nabi Muhamamad saw. dan rombongan belum diperkenankan memasuki Makkah, tetapi tahun depan dan dengan syarat hanya bermukim tiga hari tanpa membawa senjata kecuali pedang yang tidak dihunus.
  5. Kelima, perjanjian ini diikat atas dasar ketulusan dan kesediaan penuh untuk melaksanakannya, tanpa penipuan atau penyelewengan.

Pada abad ke-6 Hijriyah, Nabi Muhammad saw. mengajak semua sahabatnya untuk melaksanakan umrah di Makkah. Setelah semua persiapan beres, Nabi Muhammad saw. dan sahabatnya –satu riwayat menyebut ada 1.400 orang- berangkat menuju ke Makkah pada hari Senin awal bulan Dzulqa’dah. Mereka tidak membawa senjata –kalaupun bawa tidak diperlihatkan, karena sesuai ajakan Nabi Muhammad saw., mereka ke Makkah untuk ibadah, bukan untuk berperang.

Namun, Nabi Muhammad saw. dan rombongan ‘dicegat’ kelompok musyrik Quraisy  Makkah ketika sampai di Hudaibiyah, sebuah wilayah yang terletak 20 kilometer dari Makkah. Mereka bertanya perihal maksud dan tujuan Nabi Muhammad saw. dan umatnya datang ke Makkah. Nabi Muhammad saw. menjawab dan meyakinkan bahwa tujuan mereka adalah untuk beribadah, bukan berperang.

Tokoh Makkah tidak langsung percaya dengan hal itu. Kemudian dikirimkanlah utusan untuk mengecek kebenarannya. Begitupun Nabi Muhammad saw. yang mengutus sahabatnya untuk meyakinkan para pemuka Makkah. Kedua belah pihak beberapa kali melakukan diplomasi, namun gagal. Hingga akhirnya pemuka Makkah mengirim Suhail bin Amr dan Mukriz dengan mandat penuh. Keduanya boleh membuat kesepakatan apapun dengan umat Islam, namun ada satu hal yang tidak boleh diabaikan, yaitu Nabi Muhammad saw. dan rombongan umat Islam tidak boleh masuk Makkah.

Setelah terjadi diskusi dan perundingan yang alot, kedua belah pihak akhirnya setuju untuk membuat kesepakatan bersama. Sebuah perjanjian yang disebut Shulhul Hudaibiyah (Perjanjian Hudaibiyah). Mengutip buku Membaca Sirah Nabi Muhammad saw. dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (M Quraish Shihab, 2018), ada lima butir Perjanjian Hudaibiyah. Berikut poin-poinnya:

Pertama, gencatan senjata selama 10 tahun. Tiada permusuhan dan tindakan buruk terhadap masing-masing dari kedua belah pihak selama masa tersebut.

Kedua, siapa yang datang dari kaum musyrik kepada Nabi, tanpa izin keluarganya, harus dikembalikan ke Makkah, tetapi bila ada di antara kaum Muslim yang berbalik dan mendatangi kaum Musyrik, maka ia tidak akan dikembalikan.

Ketiga, diperkenankan siapa saja di antara suku-suku Arab untuk mengikat perjanjian damai dan menggabungkan diri kepada salah satu dari kedua pihak. Ketika itu, suku Khuza’ah menjalin kerja sama dan mengikat perjanjian pertahanan bersama dengan Nabi Muhammad saw. dan Bani Bakar memihak kaum musyrik.

Keempat, tahun ini Nabi Muhamamad saw. dan rombongan belum diperkenankan memasuki Makkah, tetapi tahun depan dan dengan syarat hanya bermukim tiga hari tanpa membawa senjata kecuali pedang yang tidak dihunus.

Kelima, perjanjian ini diikat atas dasar ketulusan dan kesediaan penuh untuk melaksanakannya, tanpa penipuan atau penyelewengan.

Perjanjian itu disaksikan kedua belah pihak. Di pihak Muslim, ada Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, Sayyidina Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Muhammad bin Salamah, dan Abdurrahman bin Suhail. Sayyidina Ali bin Abi Thalib bertugas sebagai sekretaris. Sementara di pihak kaum musyrik ada Suhail bin Amr dan Mikraz bin Hafzh.

Beberapa sahabat –termasuk Sayyidina Umar bin Khattab dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib- keberatan dengan isi perjanjian tersebut, terutama butir kedua dan keempat. Namun setelah menerima penjelasan dari Nabi Muhammad saw., akhirnya mereka menerimanya meski dengan hati yang berat.

Nabi Muhammad saw. dan rombongan umat Islam kemudian kembali ke Madinah setelah 19 atau 20 hari berada di Hudaibiyah. Sebelum balik ke Madinah, Nabi Muhammad saw. memerintahkan semua umat Islam yang ada dalam rombongan berihram dan bertakhallul (mencukur rambut). Kemudian dilanjutkan dengan menyembelih unta. Diriwayatkan, ada 70 ekor unta yang disembelih pada saat itu. (A Muchlishon Rochmat).

 

Teladan Rasulullah dalam Perjanjian Hudaibiyah

Salah satu keunggulan diplomasi yang dilakukan Nabi Muhammad SAW ialah Perjanjian Hudaibiyah pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 hijriah atau sekitar tahun 628 M. Hudaibiyah merupakan sebuah sumur yang terdapat di arah barat daya kota Makkah yaitu berjarak sekitar 22 kilometer. Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah beserta rombongan kaum muslimin yang hendak melaksanakan umrah. Walaupun Rasulullah tahu bahwa orang-orang kafir Quraisy akan menghalanginya, dan akan terjadi kontak senjata.

Dalam perjanjian dengan Kafir Quraisy tersebut, keputusan yang dilakukan Rasulullah sangat tidak populis dalam pandangan para sahabatnya. Bahkan Umar bin Khattab tidak mau menuliskan perjanjian itu, karena bukan hanya tidak adil, tetapi juga dianggap melecehkan simbol-simbol akidah Islam. Karena saat itu, akidah Islam harus terus diperkuat di tengah kekejaman orang-orang kafir pada fase dakwah Islam Makkah.

Disebutkan oleh Pakar bidang Tafsir Prof KH Nasaruddin Umar dalam buku Khutbah-khutbah Imam Besar (2018) bahwa ketika dilakukan perundingan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy, Rasulullah memimpin langsung delegasinya dan dari pihak kafir Quraisy dipimpin oleh seorang diplomat ulung bernama Suhail. Sebagai preambul naskah perjanjian itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata bismillahirrohamanirrohim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asing. Lalu Suhail mengusulkan kalimat bismika allhumma, kalimat yang populer di tengah masyarakat Arab kala itu.

Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata hadza ma qadha ‘alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Akan tetapi Suhail kembali menolak kalimat tersebut dan mengusulkan kalimat hadza ma qudhiya ‘alaihi Muhammad ibn Abdullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah).

Akibat pencoretan basmalah dan kata Rasulullah membuat para sahabat Nabi tersinggung dan menolak perjanjian tersebut. Namun, Rasulullah meminta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu. Konon, Rasulullah mengambil sendiri penulisan naskah itu karena para sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah satu prinsip dalam akidah Islam.

Kelemahan lain dari sisi substansi, menurut para sahabat, terdapat materi yang tidak adil karena apabila orang kafir Quraisy yang menyeberang batas wilayah Muslim di Madinah, maka segera dibebaskan. Sedangkan jika yang melanggar batas umat Islam, maka orangnya ditahan di Makkah. Materi perjanjian ini pun disetujui oleh Nabi Muhammad.

Soal pencoretan kata basmalah dan Rasulullah, Nabi menilai hal itu sebagai batas maksimum yang dapat dilakukan, terutama untuk mengatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan. Nabi mengetahui akibat yang akan dialami umat Islam jika dilakukan gencatan senjata. Namun, beliau sangat paham langkah-langkah yang akan dilakukan selanjutnya. Akidah di dada umat Islam semakin kuat. Teladan dan ajaran Rasulullah juga tidak sedikit pun luntur di hati para pengikutnya.

Pada akhirnya, apa yang ditetapkan oleh Nabi ternyat benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah, maka akan memberikan beban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madinah yang sudah kebanjiran pengungsi dari Makkah. Sebaliknya, para pelintas dari Madinah yang ditahan di Makkah akan dibiarkan, karena pasti mereka adalah para kader yang dapat melakukan upaya politik pecah belah di antara suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraisy.

Dalam diplomasi Hudaibiyah, Nabi menuai kesuksesan luar biasa di kemudian hari. Semua lahir dari kemampuan menahan diri dari meraih keuntungan jangka pendek hari ini, demi keuntungan yang lebih besar di masa depan. Dengan kata lain, dalam menghadapi situasi yang sulit sekali pun hendaknya kita mencontoh sikap dan perilaku Rasulullah yang tidak mudah terbawa emosi, seraya meletakkan pandangan jauh ke depan. (Ahmad).

Menarik lainnya

© 2023 Pengertian.Apa-itu.NET